1. Menekankan pada
Hal-hal yang salah
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di
atas. Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang anak2nya tidak
akur, suka bertengkar. Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita
tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi. Tapi
apakah kita sebagai orang tua memperhatikan mereka pada saat mereka
bermain dengan akur? Kita seringkali menganggapnya tidak perlu
menyapa mereka karena mereka sedang akur. Pemikiran tersebut keliru,
karena hak itu akan memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik
perhatian orang tuanya,
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan
asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan
kalimat sederhana dan mudah dipahami, misal: ”Nah, gitu donk kalau
main. Yang rukun.” Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan
sayang.
2. Merendahkan Diri
Sendiri
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda
bermain Playstation lebih dari belajar? Mungkin yang sering kita
ucapkan pada mereka, “Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh
sama papa kalo pulang kerja!” Atau kita ungkapkan dengan pernyataan
lain, namun tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada
saat itu. Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika yang
ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut. Kita tidak
sadar bahwa kita telah mengajarkan pada anak bahwa yang mampu untuk
menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya, artinya figure yang
hanya ditakuti adalah sang bapak. Maka jangan heran kalau jika anak
tidak mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu
menghentikan mereka maen ps.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara;
setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada
serius bahwa kita ingin ia berhenti main sekarang atau berikan
pilihan, misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi
sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi
Pa/Ma”. Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima
menit kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit,
dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”.
Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan
katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi lagi.
Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan konsekuensinya.
3. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua
pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya. Kita juga
terbiasa mengancam anak untuk mengalihkan perhatiannya, “Awas ada
Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!” Hasilnya memang anak sering
kali berhenti merengek atau menangis, namun secara tidak sadar kita
telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang
kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian
pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena
sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap
memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya,
“Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak akan membelikan
permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam
dengan sendirinya.
4. Ucapan dan Tindakan
Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk
anak. Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan dan
tidakan. Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, dan
ia sanga menghormati orang-orang yang menepati janji baik untuk beri
hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So, jangan pernah mengumbar
janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mengikuti
permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak menonton
televisi. Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita
benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak
bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan
minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak
untuk mengganti janji itu.
5. Hadiah untuk Perilaku
Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan
yang pernah kita nyatakan. Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari
kita telah mengajari anak untuk melawan kita. Contoh klasik dan
sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat umum,
anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan
ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya
dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu.
Pada saat inilah kita seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan
rengekan anak kita. Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya
sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi
perilaku buruk si Anak. Anak akan mempelajarinya dna menerapkannya
pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan cara yang lebih heboh
lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah
konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua
yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum membaca buku
tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita. Ingatlah
selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak
tak akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang
menyerah! Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada
perilaku buruk si anak.
6. Pendengar yang buruk
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang
buruk bagi anak anaknya. Benarkah? Bila ada suatu masalah yang
terjadi pada anak, orang tua lebih suka menyela, langsung menasehati
tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah
yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari. Kita tidak
mendapat keterangan apapun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu
saja kita kesal menunggu dan sekaligus khawatir. Lalu pada saat anak
kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan
serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak
bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau bicara
dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka
mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar
mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka
mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap
ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan
ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
7. Terlalu Banyak
Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila
Kita termasuk orang tua yang berkombinasi Melankolis dan Koleris,
kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis
orang tua yang “Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung
ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara
SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan
kita; anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan
ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara
kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti
diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan
tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka
(jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah
sifat perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan
banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog
agar kita bisa melihat dan memahami sudut pandang orang lain.
Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak dan kita. Kurangilah
jumlah larangan yang berlebihan dengan meminta pertimbangan pada
pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang lebih
baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus sudah tiba di
rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu Papa/Mama.
8. Mengungkit kesalahan
masa lalu
Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu
cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah
menyakitkan hati anak kita, yakni dengan mengungkit ungkit catatan
kesalahan yang pernah dibuat anak kita. Contohnya, “Tuh kan
Papa/Mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang
kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu
emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa
lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya
sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi,
jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata,
jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui
kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia
itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga
buat kamu”, atau “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah
positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka
selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan
buktikanlah!.
9. Memberi julukan yang
buruk
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak
bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder,
kebencian juga perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan
kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti,
anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa menemukannya
cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja.
Post by : Gentur Rodhi Ahmad ( gentur1997@gmail.com )
http://genturpurworejo.blogspot.co.id/
http://genturpurworejo.blogspot.co.id/
0 komentar:
Posting Komentar